Pages

Thursday, May 20, 2010

Benarkah Benua Atlantis Yang Hilang Berada di Indonesia?

Setelah berkonsultasi dengan “pakar” soal Atlantis dari Indonesia, saya dapat jawaban sebagai berikut: “Ada banyak versi tentang Atlantis, E. Cayce bilang bahwa Lemuria itu nama benuanya, dan Atlantis itu nama negaranya (diperkirakan eksis 24.000 – 10.000 SM.)

“Negara Atlantis itu terbagi dalam beberapa daerah atau pulau atau kalau sekarang istilahnya mungkin provinsi atau negara bagian. Daerah kekuasaan Atlantis terbentang dari sebelah barat Amerika sekarang sampai ke Indonesia. Atlantis menurut para ahli terkena bencana alam besar paling sedikit 3 kali sehingga menenggelamkan negara itu.

“Jadi, kemungkinan besar Atlantis itu tenggelam tidak sekaligus, tetapi perlahan-lahan, dan terakhir yang meluluh lantakkan negara itu terjadi sekitar tahun 12.000 – 10.000 SM. Pada masa itu es di kutub mencair dan menenggelamkan negara itu. Terjadi banjir besar yang dahsyat, dan penduduk Atlantis pun mengungsi ke dataran-dataran yang lebih tinggi yang tidak tenggelam oleh bencana tersebut. Itulah sebabnya di beberapa kebudayaan mulai dari timur sampai barat, terdapat mitos-mitos yang sejenis dengan kisah perahu Nabi Nuh. Kenapa bisa ada berbagai mitos sejenis dengan kisah perahu Nabi Nuh pada berbagai peradaban di dunia pada masa lalu? Kemungkinan besar karena memang mitos itu berasal satu “kejadian yang sama” dari satu kebudayaan dan tempat yang sama.

“Setelah negeri Atlantis tenggelam, maka penduduk Atlantis itu pun mengungsi ke daerah yang lebih tinggi yang sekarang kita kenal dengan Amerika, India, Eropa, Australia, Cina, dan Timur Tengah. Mereka membawa ilmu pengetahuan-teknologi dan kebudayaan Atlantis ke daerah yang baru.”

Di kalangan para Spiritualis, termasuk Madame Blavitszki — pendiri Teosofi — yang mengklaim bahwa ajarannya berasal dari seorang “bijak” dari benua Lemuria di India. Di dalam kebudayaan Lemuria, spiritualitasnya didasari oleh sifat feminin, atau mereka lebih memuja para dewi sebagai simbol energi feminin, ketimbang memuja para dewa sebagai simbol energi maskulin.

Hal ini cocok dengan spiritualitas di Indonesia yang pada dasarnya memuja dewi atau energi feminin, seperti Dwi Sri dan Nyi Roro Kidul (di Jawa) atau Bunda Kanduang (di Sumatera Barat, Bunda Kanduang dianggap sebagai simbol dari nilai-nilai moral dan Ketuhanan). Bahkan di Aceh pada masa lalu yang dikenal sebagai Serambi Mekkah pernah dipimpin 5 kali oleh Sultana (raja perempuan) sebelum masuk pengaruh kebudayaan dari Arab yang sangat maskulin. Sebelum itu di kerajaan Kalingga, di daerah Jawa Barat/Jawa Tengah sekarang, pernah dipimpin oleh Ratu Sima yang terkenal sangat bijak dan adil. Di dalam kebudayaan lain, kita sangat jarang mendengar bahwa penguasa tertinggi (baik spiritual atau politik adalah perempuan), kecuali di daerah yang sekarang disebut sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Setelah masa Atlantis (Lemuria) ada 5 ras yang berkuasa, yaitu: kulit kuning, merah, coklat, hitam, dan pucat. Pada masa itu kebudayaan yang menonjol adalah kulit merah, jadi kemungkinan besar kebudayaan Indian/Aztec/Maya juga berasal dari Atlantis. Tetapi, kemudian kebudayaan itu mengalami kemunduran dan selanjutnya kebudayaan kulit hitam/coklat di India yang mulai menguasai dunia. Inilah kemungkinan besar jaman kejayaan yang kemudian dikenal menjadi Epos Ramayana (7000 tahun lalu) dan Epos Mahabarata (5000 tahun lalu). Tetapi, kemudian kebudayaan ini pun hancur setelah terjadi perang Baratayuda yang amat dahsyat itu, kemungkinan perang itu menggunakan teknologi laser dan nuklir (sisa radiasi nuklir di daerah yang diduga sebagai padang Kurusetra sampai saat ini masih bisa dideteksi cukup kuat).

Selanjutnya, kebudayaan itu mulai menyebar ke Mesir, Mesopotamia (Timur Tengah), Cina, hingga ke masa sekarang. Kemungkinan besar setelah perang Baratayuda yang meluluhlantakkan peradaban dunia waktu itu, ilmu pengetahuan dan teknologi (baik spiritual maupun material) tak lagi disebarkan secara luas, tetapi tersimpan hanya pada sebagian kecil kelompok esoteris yang ada di Mesir, India Selatan, Tibet, Cina, Indonesia (khususnya Jawa) dan Timur Tengah. Ilmu Rahasia ini sering disebut sebagai “Alkimia”, yaitu ilmu yang bisa mengubah tembaga menjadi emas (ini hanyalah simbol yang hendak mengungkapkan betapa berharganya ilmu ini, namun juga sangat berbahaya jika manusia tidak mengimbanginya dengan kebijakan spiritual)

Kelompok-kelompok esoteris ini mulai menyadari bahwa mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi saja, tanpa mengembangkan kebajikan spiritual, akan sangat berbahaya bagi peradaban dunia. Itulah sebabnya kelompok-kelompok esoteris ini memulai kerjanya dengan mengembangkan ilmu spiritual seperti tantra, yoga, dan meditasi (tentu saja dengan berbagai versi) untuk meningkatkan Kesadaran dan menumbuhkan Kasih dalam diri manusia. Ajaran-ajaran spiritual inilah yang kemudian menjadi dasar dari berbagai agama di dunia. Sedangkan ilmu pengetahuan dan teknologi disimpan dahulu dan hanya diajarkan kepada orang-orang yang dianggap telah mampu mengembangkan Kesadaran dan Kasih dalam dirinya.

Tetapi, manusia memang mahluk paling ironik dari berbagai spesies yang ada di bumi. Berabad kemudian, ilmu spiritual ini justru berkembang menjadi agama formal yang bahkan menjadi kekuatan politik. Agama justru berkembang menjadi pusat konflik dan pertikaian di mana-mana. Sungguh ironik, ilmu yang tadinya dimaksudkan untuk mencegah konflik, justru menjadi pusat konflik selama berabad-abad. Tetapi, itu bukan salah agama, melainkan para pengikut ajaran agama itulah yang tidak siap memasuki inti agama: spiritualitas.

Pada abad pertengahan di Eropa, masa Aufklarung dan Renaissance, kelompok-kelompok esoteris ini mulai bergerak lagi. Kali ini mereka mulai menggunakan media yang satunya lagi — ilmu pengetahuan dan teknologi — untuk mengantisipasi perkembangan agama yang sudah cenderung menjadi alat politis dan sumber konflik antar bangsa dan peradaban. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang selama ini disimpan mulai diajarkan secara lebih luas. Kita mengenal tokoh-tokoh seperti Leonardo Da Vinci, Dante Alegheri, Copernicus, Galelio Galilae, Bruno, Leibniz, Honore de Balzac, Descartes, Charles Darwin bahkan sampai ke Albert Einstein, T.S. Elliot, dan Carl Gustave Jung adalah tokoh-tokoh ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni modern yang berhubungan — kalau tidak bisa dikatakan dididik — oleh kelompok-kelompok esoteris ini.

Tetapi, sejarah ironik kembali berkembang, kebudayaan dunia saat ini menjadi sangat materialistis. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang seharusnya digunakan untuk “menyamankan” kehidupan sehari-hari manusia, sehingga manusia punya lebih banyak waktu untuk mengembangkan potensi spiritualitas di dalam dirinya, justru menjadi sumber pertikaian dan alat politik. Konflik terjadi di mana-mana. Ribuan senjata nuklir yang kekuatannya 10 – 100 kali lebih kuat dari bom yang dijatuhkan di Hirosima dan Nagasaki pada tahun 1945, kini ada di bumi, dan dalam hitungan detik siap meluluhlantakkan spesies di bumi.

Belum lagi eksploitasi secara membabi buta terhadap alam yang menyebabkan kerusakan lingkungan dan pemanasan global di mana-mana. Menurut para ahli, hutan di bumi saat ini dalam jangka seratus tahun telah berkurang secara drastis tinggal 15%. Ini punya dampak pada peningkatan efek rumah kaca yang menimbulkan pemanasan global, diperkirakan kalau manusia tidak secara bijak bertindak mengatasi kerusakan lingkungan ini, maka 30 sampai 50 tahun lagi, sebagian besar kota-kota di dunia akan tenggelam, termasuk New York City, Tokyo, Rio De Jenero, dan Jakarta. Dan sejarah tenggelamnya negeri Atlantis akan terulang kembali.

Jaman ini adalah jaman penentuan bagi kebudayaan “Lemuria” atau “Atlantis” yang ada di bumi. Pada saat ini dua akar konflik, yaitu “agama” dan “materialisme” telah bersekutu dan saling memanfaatkan satu sama lain serta menyebarkan konflik di muka bumi. Agama menjadi cenderung dogmatik, formalistik, fanatik, dan anti-human persis seperti perkembangan agama di Eropa dan timur tengah sebelum masa Aufklarung. Esensi agama, yaitu spiritualitas yang bertujuan untuk mengembangkan Kesadaran dan Kasih dalam diri manusia, malah dihujat sebagai ajaran sesat, bid’ah, syirik, dll. Agama justru bersekutu kembali dengan pusat-pusat kekuasaan politik, terbukti pada saat ini begitu banyak “partai-partai agama” yang berkuasa di berbagai negara, baik di negara berkembang maupun di negara maju. Di sisi lain perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berlandaskan pada paham materialisme juga sudah terlanjur menguasai dunia. Persekutuan antara kaum agama dan materialisme, atau “agama-materialistik” ini mulai menggejala di mana-mana, berwujud dalam bentuk-bentuk teror yang mengancam dunia.

Sudah saatnya, para spiritualis di “Lemuria” mulai bersatu kembali. Segala pertikaian remeh-temeh tentang materialisme-spiritualistik atau spiritualisme-materialistik harus diselesaikan sekarang. Tugas yang sangat penting tengah menanti, bukan tugas profetik, tetapi tugas yang benar-benar menyangkut keberlangsungan eksistensi seluruh spesies di “Lemuria”, di bumi yang amat indah ini. Tugas ini tidak bisa dikerjakan oleh satu dua orang Buddha atau Nabi atau Wali atau Resi atau Avatar seperti pada masa lalu. Tetapi, seluruh “manusia-biasa” juga harus terlibat di dalam tugas ini.

Jika hipotesis Prof. Santos*) memang benar, bahwa Atlantis pada masa lalu itu berada di Indonesia, maka hal itu berarti kita yang tinggal di sini punya tugas yang penting. Ini bukan suatu kebetulan. Kita yang tinggal di Indonesia harus bangkit kembali, bangkit Kesadarannya, bangkit Kasihnya, bangkit sains dan teknologinya untuk mengubah jalannya sejarah Lemuria yang selama ini sudah salah arah.

Kejayaan masa lalu bukan hanya untuk dikenang, atau dibanggakan, tetapi harus menjadi “energi-penggerak” kita untuk mengambil tanggung jawab dan tugas demi kejayaan Indonesia dan keberlanjutan peradaban Lemuria beserta seluruh spesies yang ada di bumi ini. Seperti kata Bapak Anand Krishna, dalam bukunya yang bertajuk Indonesia Jaya, “Masa depanmu jauh lebih indah dan jaya daripada masa lalumu, wahai putra-putri Indonesia!”

Indonesia Jaya!
ahmad yulden erwin

CATATAN:
*) Prof. Arysio Nunes Santos is a Nuclear Physicist with a Ph. D. in Nuclear Physics and a Free-Docency in Physical-Chemistry. In the course of his protracted professional career as a scientist, Prof. Santos also worked as a geologist and climatologist, disciplines he came to master, making substantial contributions to Ice Age Theory, particularly in what concerns Catastrophism and the reality of the Flood, the cataclysm which ultimately led to the demise of Atlantis-Eden.

Prof. Santos also wrote several other books and articles on Science and Engineering, as well as on arcane subjects such as Symbolism, Alchemy, the Holy Grail, Comparative Mythology and Religion, etc.. Pursuing these studies with a multi-disciplinary approach based on both the Exact and the Human Sciences, as well as the more traditional disciplines, the author finally managed to discover Atlantis’ true location; to prove its identity with Eden and the other traditional Paradises, and to reconstruct in detail the secret history of the Lost Continent described by Plato and several other ancient sages.

A gifted amateur linguist, Prof. Santos masters several tongues, including Greek, Latin, Sanskrit and Dravida, which are essential for the understanding of the ancient myths on Paradise and its destruction by the Universal Flood. This knowledge has enabled him to decipher Etruscan and Pelasgian, the languages of the predecessors of the Greeks and the Romans in the Mediterranean region. Prof. Santos traced these languages back to Sanskrit and Dravida, establishing an ineluctable connection with the East Indies, the true site of Atlantis.

0 comments: